Rabu, 02 Maret 2011

SEJARAH PEMELIHARAAN KEMURNIAN AL QUR'AN

Memelihara Al Qur'an di masa Nabi saw.

Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah satu bangsa yang bura huruf; amat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas, sebagai kertas yang dikenal sekarang.
Perkataan "Al waraq" (daun) yang lazim pula dipakaikan dengan arti "kertas" di masa itu, hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja.

Adapun kata "al qirthas" yang daripadanya terambil kata-kata indonesia "kertas" dipakaikan oleh mereka hanyalah kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu: kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah tamar (korma), tulang binatang dan lain sebagainya.

Setelah mereka menaklukkan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw, barulah mereka mengetahui kertas. Orang Persia menamai kertas itu "kaqhid", maka dipakailah kata-kata kaqhid ini untuk kertas oleh bangsa Arab semenjak itu.

Adapun sebelum masa Nabi ataupun di masa Nabi, kata-kata "al kaqhid" itu tidak ada dalam pemakaian bahasa Arab, maupun dalam hadits-hadits Nabi. Kemudian kata-kata "al qirthas" itupun dipakai pula oleh bangsa arab kepada apa yang dinamakan "kaqhid" dalam bahasa Persia itu.

Kitab atau buku tentang apapun, juga belum ada pada mereka. Kata-kata "kitab" di masa itu hanyalah berarti: sepotong kulit, batu, atau tulang dan sebagainya yang telah bertulis, atau berarti surat, seperti kata "kitab" dalam ayat 28 surat (27) An Naml, yang artinya: "Pergilah dengan surat saya ini, maka jatuhkanlah dia kepada mereka....".

Begitu juga "kutub" (nama' kitab) yang dikirimkan oleh Nabi kepada raja-raja di masanya, untuk menyeru mereka kepada Islam.

Karena mereka belum mengenal kitab atau buku sebagai yang dikenal sekarang, sebab itu diwaktu Al Qur'anul Karim itu dibukukan di masa Khalifah Utsman bin 'Affan sebagai akan diterangkan nanti; mereka tidak tahu dengan apa Al Qur'an yang telah dibukukan itu akan dinamai. Bermacam-macamlah pendapat sahabat tentang nama yang harus diberikan. Akhirnya mereka sepakat menamainya dengan "Al Mushaf" (ism maf'ul dari ashhafa), dan ashhafa artinya: mengumpulkan (shuhuf), jama' dari shahifah, lembaran-lembaran yang telah bertulis.

Kendatipun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tetapi mereka mempunyai ingat yang amat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan sya'ir-sya'ir dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, ansab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi diantara mereka, peristiwa-pertistiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya, adalah kepada hafalan semata-mata.

Demikianlah keadaan bangsa Arab di waktu kedatangan agama Isalam itu. Maka dijalankanlah oleh Nabi suatu cara yang 'amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al Qur'nul Karim dan memeliharanya. Tiap-tuap diturunkan ayat-ayat itu Nabi menuyuruh menghafalnya, dan dan menuliskannya di batu, kullit binatang, pelepah tamar, dan apa saja, yang bisa sisusun dalam sesuatu surat. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al Qur'an sajalah yang boleh dituliskan , selain dari Al Qur'an, Hadits atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi, dilarang menuliskannya. Larangan ini dengan maksud supaya Al Qur'anul Karim itu terpelihara, jangan campur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.

Nabi menganjurkan supaya Al Qur'an itu dihafal, selalu dibaca, dam diwajibkannya membacanya dalam sembahyang. Dengan jalan demikian banyaklah orang yang hafal Al Qur'an. Surat yang satu macam, dihafal oleh ribuan manusia, dan banyak yang hafal seluruh Al Qur'an. Dalam pada itu tidak ada satu ayatpun yang tak dituliskan.

Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan digembirakan oleh Nabi. Beliau berkata:
"Di akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada' (orang-orang yang mati syahhid)"

Pada peperangan Badar, orang-orang musyrikin yang ditawan oleh Nabi, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis baca, masing-masingnya diharuskan mengajar sepuluh orang Muslim menulis dan membaca sebagai ganti tebusan.

Di dalam Al Qura'an pn banyak ayat-ayat yang mengurarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena, dan tulisan. Firman Allah, dalam surat Al Qalam (68) ayat 1 yang artinya: " Nun, demi pena da apa yang mereka tuliskan."

dalam surat Al 'Alaq (96) ayat 3, 4, 5 yang artiny: "Bacalah, dan Tuhanmu amat mulia. Yang telah mengajar dengan pena. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca, dan bertambah banyaklah mereka yang pandai menulis dan membaca itu, dan banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah diturunkan. Nabi sendiri mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menuliskan Al Qur'an untuk beliau. Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah 'Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.

Dengan demikan terdapatlah di masa Nabi tiga unsur yang tolong menolong memelihara Al Qur'an yan telah diturunkan itu.
1. Hafalan dari mereka yang hafal Al Qur'an itu.
2. Naskah-naskah yang ditulis untuk Nabi.
3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.

Dalam pada itu oleh Jibril diadakan ulangan (repetisi) sekali setahun. Di waktu ulangan itu Nabi disuruh mengulang memperdengarkan Al Qur'an yang telah diturunkan. Di tahun beliau wafat, ulangan itu diadakan oleh Jibril dua kali. Nabi sendiripun sering pula mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu disuruh beliau membacakan Al Qur'an itu di mukanya, untuk menetapkan atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka.

Ketika Nabi wafat Al Qur'an itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayatnya dalam sesuatu surat telah disusun menurut tertib urut yang ditunjukkan sendiri oleh Nabi. Mereka telah mendengar Al Qur'an itu dari mulut Nabi berkali-kali, dalam sembahyang, dalam pidato-pidato beliau, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Pendeknya Al Qur'anul Karim adalah dijaga dan terpelihara baik-baik, dan Nabi telah menjalani suatu cara yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Qur'an itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab di waktu itu.

Satu hal yang menarik perhatian, ialah Nabi baru wafat sebagai disebutkan di atas, ialah di kala Al Qur'an itu telah cukup diturunkan, dan Al Qur'an itu sempurna diturunkan ialah di waktu Nabi telah mendekati masanya untuk kembali ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini bukanlah suatu kebetulan saja, tetapi telah diatur oleh Yang Maha Esa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar